Santri, motor dan Perang Kemerdekaan-1945

Gambar : Ilustrase
NU Online · Senin, 6 Oktober 2025 | 11:25 WIB
Sepenggal kisah terekam dari Roeslan Abdulgani yang waktu itu berpangkat kapten: "Sore, 30 Oktober 1945, jenderal Inggris, Brigjen A.W.S. Mallaby, tewas dalam baku tembak di seputar Gedung Internatio Krembangan Selatan Surabaya. Mobilnya meledak! Tak sampai di situ, tewas juga Brigjen Robert Guy Loder Symonds pada 9 November di peperangan yang sama. Ia hancur lebur sebab pesawat yang ditumpanginya ditembak pejuang. Siapa yang menembak? Misteri sampai sekarang," katanya.
Mayor Jenderal Sir Eric Carden Roberts Mansergh, komandan pasukan Inggris murka. Ia langsung memberi komando, jatuhkan bom-bom dari langit. Gedung-gedung—termasuk bekas markas kempetai, rumah, apalagi warung semi permanen—luluh lantak. Warga Surabaya tak ciut nyali dan pasang badan melawan segenap kemampuan.
Ini adalah perang suci! Mayoritas Muslim, abangan, juga santri tulen mendidih darahnya. Negeri ini harus dibela, apalagi telah keluar Resolusi Jihad oleh KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, pada 22 Oktober 1945. Isinya jelas, umat Islam wajib melawan penjajah dengan segala daya. Tak hanya doa, tetapi juga melawan secara fisik. Jihad fi sabilillah, membela negeri tercinta adalah bagian dari iman, terutama bagi mereka yang militan di Laskar Hizbullah. Di waktu ke depan, momen inilah yang menjadi dasar penetapan Hari Santri Nasional (HSN). Begitulah.
Baca Juga Upaya KH Wahab Chasbullah Kembali Bangun NU Pascaperang Kemerdekaan Memang perang dahsyat! Dunia mencatat, satu-satunya perseteruan negara maju (baca: Sekutu (Inggris-Belanda) dan negeri yang masih bayi, menewaskan dua jenderal sekaligus. Cak Sutomo atau Bung Tomo yang waktu itu berumur 25 berkoar di radio Perjuangan dan Radio Pemberontakan. Ia menjadi provokator republik yang 'membakar' semangat dalam bentuk retorika heroik yang legendaris sampai kini. Ia tidak cuma bicara; ia terjun langsung di medan laga.
Banyak korban cedera dan gugur. Mereka yang bugar bermata menyala nafsu membunuh sesama manusia. No mercy, rawe-rawe lantas malang-malang putung. Dari pihak republik, TNI (yang waktu itu disebut BKR - Badan Keamanan Rakyat dan TRIP - Tentara Republik Indonesia Pelajar) tak bersekat dengan warga sipil. Mereka berperang side by side, mengadu nyawa dan beberapa gugur sebagai bunga bangsa.
Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, remaja belia 20 tahun berkisah dalam buku Bung Tomo Suamiku: "Saat itu saya anggota Palang Merah Indonesia (PMI). Kami tidak jalan kaki, tetapi pakai motor bersespan (side car)," jelasnya.
Berarti berdua, Ibu Sulistina dibonceng oleh rider—atau duduk di sespan—merangsek masuk ke medan tempur mencari korban yang bisa diselamatkan. Selanjutnya, "Korban kami bawa menuju truk pengangkut untuk kemudian dibawa ke tempat aman dan dirawat," kisah Ibu yang wafat pada 31 Agustus 2016 itu. Sejarah mencatat, Ibu lupa motor apa yang menyertainya berjuang.
Motoris pecinta sejarah berusaha menelaah dan membayangkan varian yang sudah wara-wiri di zaman itu. Motor-motor rampasan perang bisa jadi BSA M20 rigid cangkrang 1941, bisa juga HD WL. Kebanyakan motor didapat dari rampasan perang atau milik tauke pengusaha Tionghoa. Selain HD WL, ada juga keluarga BSA (M21, BSA M16 versi militer), NSU, atau Norton versi militer N16 atau Exelsior. Di beberapa brother Bike Enthusiast, motor-motor itu masih ada, termasuk BSA M20: masih 'menyala'.
Baca Juga Resolusi Jihad NU dan Perang Empat Hari di Surabaya Kisah motor itu tak melulu hasil rampasan. Di tahun 20-an, perdagangan kita sudah maju. Para cukong dan mandor perkebunan tergolong kaum digdaya, mampu beli motor Eropa-Amerika. Mau bukti? Iklan majalah Sin-po tahun 30-an sudah memuat iklan-iklan motor macam itu. Joehana Sutisna a.k.a Kang Joe, sarjana sejarah yang juga biker dan aktor film, berkata: "Betul! Indonesia saat itu sudah jadi pasar penjualan motor-motor keren."
Itu kisah Surabaya! Di lain tempat, perang besar juga terjadi. Bandung, pusat Tatar Priangan, ada Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946. Inggris seenaknya membagi wilayah ini dalam dua: Utara milik Inggris dan Selatan milik Indonesia. Biang keroknya Brigade Mac Donald yang sudah mengendap di Bandung pada 12 Oktober 1945. Muncul ultimatum yang bikin gusar republiken: Wajib ada evakuasi secara militer di wilayah Bandung Selatan pada Maret 1946. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) bereaksi hingga pecah perang. Mereka dan warga membakar wilayah Bandung Selatan agar tidak diduduki. Tokoh-tokoh yang terkenal dari kalangan kiai juga dicatat, seperti KH Anwar Musaddad dan KH Yusuf Taujiri dari pesantren Darussalam, pentolan Laskar Hizbullah.
Pejuang kita tak cuma mengincar senjata Belanda. Motor-motor yang mereka tunggangi juga menjadi bagian penting perjuangan ini. Kisah-kisah perampasan selalu jadi cerita heroik senior-senior kita. Almarhum Rachmad Hidayat (Presiden HDC Pertama), Letnan Poniman (Alm.), H. Bariji (Alm.), Kang R. Amir (Alm.), Brigjen Somali, dan Haryoto Kunto (Alm.), seorang planolog kondang. Pak Kunto menorehkan ini dalam bukunya,
Bandoeng Tempoe Doeloe. Di era yang lebih baru, 7 Agustus 1949 terjadi peristiwa DI-TII (Darul Islam-Tentara Islam Indonesia) dan penumpasannya di tahun 50-an. Pasukan yang dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo diberangus Tentara Nasional Indonesia. Mereka lari ke gunung dan motor-motornya ditinggal di jalan. Ada pemuda pemberani 18 tahun, dialah Kang Ayi yang beken sebagai tokoh Harley Club Bandung (HCB), motor yang dirampasnya HD the Forty five (45 cu) alias 750 cc.
Baca Juga Jihad Santri Mensejahterakan Masyarakat Senior eks pejuang dan pemerhati sejarah lain juga menelaah. Motor sebagai alat transportasi juga menjadi andalan perang di kedua belah pihak. Apalagi peradaban bermotor di Bandung memang sudah kental di zaman Paradise in Exile atau Prianger Planters sebelum dan pembuka abad 20.
Tahun 30 sampai 40-an, motor-motor sudah menjadi primadona. Warga Sunda Tatar Priangan dipastikan senewen melihat opsir Belanda mondar-mandir pakai sespan kosong. Dulu sespan dipakai untuk VVIP alias bromocorah—penjahat. Sang opsir atau Opas akan menangkap bajingan dan menghempas kasar ke sespan, terikat menuju markas. Dari kisah orang tua dulu, mereka masuk-keluar kampung menunggangi Harley-Davidson, mengontrol perilaku penduduk, siapa tahu ada yang berpolah kriminal.
- Belanda punya pasukan bermotor berjuluk CORO (Cursus Opleiding Reserve Officieren). Terus terang mereka ganteng, necis, gagah berambut pirang berposisi sebagai perwira cadangan. Tiap Sabtu sore, mereka percaya diri unjuk kekuatan lewat upacara bendera yang disebut Vlag Vertoon dan Taptoe. Berdandan klimis, rapi, nan resik, mereka berbaris meninggalkan kazerne (asrama) di daerah Lapangan Siliwangi menuju Pieterspark (sekarang Taman Merdeka) di sebelah Utara Jl. Braga. Kisah CORO ini sedikit muncul di adegan film Dilan-Ancika, lewat dialog Dilan dan bokapnya, diperankan Arbani Yasiz (Dilan) dan bokapnya aktor Mathias Muchus. Itulah kisah heroik masa lalu yang melibatkan tentara, santri, juga bikers.
Isfandiari MD, pendiri klub motor Outsider, Wasekjen PBNU
Sumber : https://nu.or.id/opini/santri-motor-dan-perang-kemerdekaan-1945-X7BCN