By Imron Husnussairi*

Kata sujud, menurut Prof. Quraish Shihab, mengandung beberapa pengertian, misalnya pertama, pengakuan dan penghormatan kepada pihak lain (seperti sujudnya Malaikat kepada Adam seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2] ayat 30), kedua, kesadaran terhadap kekhilafan serta pengakuan atas kebenaran pihak lain (misalnya sujudnya ahli sihir Fir’aun setelah Nabi Musa   menunjukan mukjizat dan mengalahkan sihir mereka) Lihat QS Thaha [20] ayat 20). Ketiga, sujud berarti mengikuti dan menyesuaikan diri dengan ketetapan Allah/ sunatulah (misalnya sujudnya bintang-bintang, tetumbuhan dan sebagainya. Lihat Q.S. ar-Rahman [55] ayat 6).

Dalam arti yang luas, sujud adalah aktivitas untuk mengakui keagungan Tuhan, menghormatiNya, pengakuan atas kesalahan diri sendiri dan kebenaran-Nya, dan sujud juga berarti pernyataan ketundukan terhadap semua aturan-aturan Allah SWT. Sedangkan secara fikih sujud adalah rukun (urutan yang harus dilakukan) dalam shalat.

Tempat shalat umat Islam disebut masjid, tidak disebut marka (tempat ruku’) atau kata lain semisal dengannya yang menjadi rukun shalat. Kata masjid disebut duapuluh delapan kali di dalam al-Quran. Secara harfiah, masjid berasal dari Bahasa Arab yaitu sajada, yasjudu, sujudan. [1] Dalam Kamus al-Munawwir (1997: 610), berarti membungkuk dengan khidmat. Dari akar kata tersebut, terbentuklah kata masjid yang merupakan kata benda yang menunjukkan arti tempat sujud (isim makan dari fi‘il sajada).

Masjid Pada Mulanya[2]

 Sejarah masjid bermula sesaat setelah Rasulullah Saw, hijrah di Madinah. Saat Rasulullah Saw tiba di Quba, pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 nubuwwah atau tahun pertama hijrah, bertepatan tanggal 23 September 662 M, beliau membangun masjid yang pertama yang disebut masjid Quba. Lokasinya berada di sebelah tenggara Kota Madinah. Jaraknya lima kilometer di luar Kota Madinah. Dijelaskan dalam sejarah, tokoh Islam yang memegang peranan penting dalam pembangunan masjid ini adalah sahabat Rasulullah yaitu ‘Ammar ra. Saat Rasulullah Saw hijrah dari Makkah ke Madinah, pria ini mengusulkan untuk membangun tempat berteduh bagi Rasulullah di kampong Quba yang tadinya hanya terdiri atas hamparan kebun kurma. Kemudian, dikumpulkannya batu-batu dan disusun menjadi masjid yang sangat sederhana. Meskipun tak seberapa besar, paling tidak bangunan ini dapat menjadi tempat berteduh bagi rombongan Rasulullah Saw, mereka pun dapat beristirahat pada saat siang hari dan mendirikan shalat dengan tenang. Rasulullah SAW, meletakkan batu pertama tepat di kiblatnya dan ikut menyusun batu-batu selanjutnya hingga bisa menjadi pondasi dan dinding masjid.

Rasullullah SAW dibantu para sahabat dan kaum Muslim yang lain. Ammar menjadi pengikut Rasulullah yang paling rajin dalam membangun masjid ini. Tanpa kenal lelah, ia membawa batubatu yang ukurannya sangat besar, hingga orang lain tak sanggup mengangkatnya. Ammar mengikatkan batu itu ke perutnya sendiri dan membawanya untuk dijadikan bahan bangunan penyusun masjid ini. Ammar memang selalu dikisahkan sebagai prajurit yang sangat perkasa bagi pasukan Islam. Dia mati syahid pada usia 92 tahun.

Pada awal pembangunannya yang dibangun dengan tangan Rasulullah sendiri masjid ini berdiri di atas kebun kurma. Luas kebun kurmanya kala itu 5.000 meter persegi dan masjidnya baru sekitar 1.200 meter persegi. Rasulullah Saw, sendiri pula yang membuat konsep desain dan model masjidnya. Meskipun sangat sederhana, Masjid Quba boleh dianggap sebagai contoh bentuk masjid-masjid selanjutnya. Bangunan yang sangat sederhana kala itu sudah memenuhi syarat-syarat yang perlu untuk pendirian masjid. Masjid ini telah memiliki sebuah ruang persegi empat dan berdinding disekelilingnya. Di sebelah utara dibuat serambi untuk tempat sembahyang. Dulu, ruangan ini bertiangkan pohon kurma, beratap datar dari pelepah, dan daun korma yang dicampur dengan tanah liat. Di tengah-tengah ruang terbuka dalam masjid yang kemudian biasa disebut sahn terdapat sebuah sumur tempat wudhu. Di sini, jamaah bisa mengambil air untuk membersihkan diri. Dalam masjid ini, kebersihan selalu terjaga, cahaya matahari dan udara pun dapat masuk dengan leluasa.

Setelah masjid Quba, bangunan masjid yang selanjutnya dibangun oleh Rasulullah SAW adalah masjid Nabawi di Madinah. Rasulullah SAW, membangun Masjid Nabawi pada bulan Rabiul Awal di awal-awal hijrahnya ke Madinah. Pada saat itu panjang masjid adalah 70 hasta dan lebarnya 60 hasta atau panjangnya 35 m dan lebar 30 m. Kala itu Masjid Nabawi sangat sederhana, kita akan sulit membayangkan keadaannya apabila melihat bangunannya yang megah saat ini. lantai masjid adalah tanah yang berbatu, atapnya pelepah kurma, dan terdapat tiga pintu, sementara sekarang sangat besar dan megah. Area yang hendak dibangun Masjid Nabawi saat itu terdapat bangunan yang dimiliki oleh Bani Najjar. Rasulullah SAW. berkata kepada Bani Najjar, “Wahai Bani Najjar, berilah harga bangunan kalian ini?.” Orang-orang Bani Najjar menjawab, “Tidak, demi Allah. Kami tidak akan meminta harga untuk bangunan ini kecuali hanya kepada Allah.” Bani Najjar dengan suka rela mewakafkan bangunan dan tanah mereka untuk pembangunan Masjid Nabawi dan mereka berharap pahala dari sisi Allah atas amalan mereka tersebut. Anas bin Malik yang meriwayatkan hadis ini menuturkan, “Saat itu di area pembangunan terdapat kuburan orang-orang musyrik, puing-puing bangunan, dan pohon kurma. Rasulullah SAW, memerintahkan untuk memindahkan mayat di makam tersebut, meratakan puing-puing, dan menebang pohon kurma”.

Pada tahun 7 H, jumlah umat Islam semakin banyak, dan masjid menjadi penuh, nabi pun mengambil kebijakan memperluas Masjid Nabawi. Beliau tambahkan masing-masing 20 hasta untuk panjang dan lebar masjid. Utsman bin Affan adalah orang yang menanggung biaya pembebasan tanah untuk perluasan masjid saat itu. Peristiwa ini terjadi sepulangnya beliau dari Perang Khaibar. Masjid Nabawi mempunyai banyak keutamaan, di antaranya dilipatgandakannya pahala untuk orang-orang yang beribadah di dalamnya. Rasulullah SAW, bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 kali shalat di masjid selainnya, kecuali Masjid al-Haram” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain masjid Quba dan masjid Nabawi yang dijelaskan di atas, tercatat masjid yang juga dijadikan sentra utama seluruh aktivitas keumatan, yaitu Masjidil Haram, Masjid Kufah, Masjid Basrah dan masih banyak lagi. Semua masjid semestinya dibangun atas dasar takwa dan bukan atas dasar yang lainnya. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW dalam sejarahnya pernah meruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga mereka namakan masjid, yaitu masjid Dhirar.

Dalam QS at-Taubah (09): 107, Allah SWT berfirman:

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta dalam sumpahnya).

Dalam kitab Asbabun Nuzul yang ditulis oleh al-Imam al-Hafidz Jalaluddin alSuyuthi (2004: 137), dalam suatu riwayat, yaitu Ibnu Marduwaih dari Ibn Ishaq dari Ibn Syihab az-Zuhri dari Ibn Aqimah al-Laitsi dari anak Abi Rahmin al-Ghifari, dikemukakan bahwa di antara orang-orang yang membangun masjid Dhirar datang menghadap Rasulullah SAW, yang pada waktu itu sedang bersiap-siap untuk berangkat ke perang Tabuk.

Berkatalah mereka: “Ya Rasulullah! Kami telah membangun sebuah masjid untuk orang sakit, orang berhalangan dan untuk shalat malam di musim dingin dan musim hujan. Kami mengharapkan sekali kedatangan tuan untuk shalat mengimami kami”.

Rasulullah SAW. Menjawab: “Aku sudah siap untuk bepergian, dan jika kami pulang insya Allah akan datang untuk shalat mengimami kalian”.

Ketika beliau pulang dari Tabuk, berhenti sebentar di Dzi Awan, suatu tempat yang jaraknya sejam dari Madinah. Maka turunlah ayat ini (QS at-Taubah/ 09: 107) yang melarang Rasulullah SAW shalat di Masjid Dhirar, karena masjid itu didirikan untuk memecah belah umat Islam. Lalu Rasulullah SAW memanggil Malik bin ad-Dakhsyin dan Ma’nu bin ‘Adi atau saudaranya ‘Ashim bin Adi dan bersabda: “Berangkatlah kalian ke masjid yang dihuni oleh orang-orang dzalim dan hancurkan serta bakar masjid tersebut”.

Demikianlah, masjid semestinya dibangun atas dasar takwa. Dalam QS atTaubah/ 09: 108-110, Allah SWT berfirman;

 “Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih

Dalam sejarahnya, masjid dibangun oleh Rasulullah SAW sebagai “rumah Allah”, tempat di mana umat Islam menyembah, memuliakan dan mengingat Allah. Dalam QS al-Jin (72): 18, Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun didalamnya di samping (menyembah) Allah.”

 Ayat ini menurut asbabun nuzul-nya bermula dari pertanyaan bangsa jin pada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah! Berilah izin kepada kami untuk turut serta shalat bersama di masjidmu.” Maka Allah menurunkan ayat ini (baca: QS Jin/ 72: 18) sebagai penegasan bahwa masjid adalah kepunyaan Allah (al-Imam alHafidz Jalaluddin al-Suyuthi, 2004: 260).

Selanjutnya keberadaan masjid sebagai tempat menyembah, memuliakan dan mengingat Allah dijelaskan dalam QS. an-Nur/ 24: 36-37, Allah SWT berfirman:

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya didalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang”.

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”.

Satu yang dapat disimpulkan dalam uraian di atas adalah bahwa Rasulullah SAW memberikan arti penting bagi pembangunan masjid. Bukan rumah kediaman beliau yang didahulukan dibangun, bukan juga sebuah benteng pertahanan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari Makkah. Bagi nabi Muhammad SAW masjid dianggap lebih penting daripada semua itu. Ketika Rasulullah SAW memilih membangun masjid sebagai langkah pertama dari niatnya membangun masyarakat madani, konsep masjid pada masa itu ternyata tidak hanya sebatas tempat shalat saja, atau tempat berkumpulnya kelompok masyarakat (kabilah) tertentu, melainkan masjid menjadi sentra utama seluruh aktivitas keumatan, yaitu sentra pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan keteladanan Rasulullah, masjid menjadi bagian utama dalam pembinaan umat Islam. Oleh karena itu, tantangan ke depan bagi para pengelola masjid untuk “mengembalikan” fungsi masjid pada mulanya.Wallahu A’lamu bi Asshowaab


[1] Syamsul Kurniawan, Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies Volume 4 Nomor 2 September 2014, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak

[2]Ibid

*) Penulis adalah Guru di SMK Wahid Hasyim Ponorogo